Perbedaan Gempa di Aceh pada 2004 dan 2012
syaiful HALIM
12/04/2012 09:29
Liputan6.com, Jakarta: Gempa Aceh 2004 dan gempa Aceh 2012 berbeda jauh. "Jika dulu lokasi gempa ada di sepanjang zona subduksi pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia, gempa saat ini berlokasi hanya di lempeng Indo-Australia," kata ahli tsunami Subandono Diposaptono di Jakarta, Rabu (11/4).
Dikatakan Direktur Tata Ruang Laut dan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, pusat gempa sekarang sekitar 175 kilometer lebih ke selatan. Dengan demikian, gempa Aceh yang terjadi kali ini merupakan gempa intraplate, bukan interplate seperti gempa Aceh berkekuatan 9,1 skala Richter pada 26 Desember 2004. Gempa intraplate tidak menyebabkan tsunami yang besar seperti halnya gempa interplate yang berada di zona subduksi.
"Gempa Aceh 2004 menyebabkan tepian dari lempeng Indo-Australia melenting ke atas sepanjang 1.300kilometer tegak lurus zone penunjaman tempat lempeng samudra Hindia menyusup di bawah lempeng Eurasia (megathrust), dari mulai Simeuleu sampai Andaman dan membuat air laut surut dan kemudian menghempas ke daratan," katanya.
Sedangkan, kata Subandono, gempa kali ini hanya menyebabkan gerakan mendatar yang menyebabkan getaran dan riak gelombang di lautan. "Kalaupun ada tsunami paling-paling tingginya hanya 10-20 sentimeter atau paling tinggi tak lebih dari semeter," katanya.
Subandono juga mengingatkan pentingnya rencana tata ruang wilayah menjadi dasar dari pembangunan, khususnya di kawasan pontensial bencana gempa dan tsunami, sehingga diharapkan mampu meminimalisasi resiko bencana. "Sayang sekali kalau kita sudah bangun kota dengan sebagus-bagusnya, tapi karena tsunami datang lagi, lalu kota kembali hancur, lalu kita harus membangunnya lagi," katanya.
Ia mencontohkan Jepang yang dilanda gempa 9 SR pada Maret 2011 dan menyebabkan tsunami hingga 10 meter dan menewaskan ribuan korban, namun setahun setelah itu belum ada upaya rekonstruksi. "Pembangunan kembali baru akan dilaksanakan setelah semua rencana sesuai tata ruang berbasis mitigasi bencana sudah matang," jelasnya.
Rencana tata ruang wilayah, ujar Subandono, lebih penting daripada pembangunan tembok laut atau hutan pantai yang kurang efektif dalam meminimalisasi risiko bencana.(Ant/SHA)
Dikatakan Direktur Tata Ruang Laut dan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, pusat gempa sekarang sekitar 175 kilometer lebih ke selatan. Dengan demikian, gempa Aceh yang terjadi kali ini merupakan gempa intraplate, bukan interplate seperti gempa Aceh berkekuatan 9,1 skala Richter pada 26 Desember 2004. Gempa intraplate tidak menyebabkan tsunami yang besar seperti halnya gempa interplate yang berada di zona subduksi.
"Gempa Aceh 2004 menyebabkan tepian dari lempeng Indo-Australia melenting ke atas sepanjang 1.300kilometer tegak lurus zone penunjaman tempat lempeng samudra Hindia menyusup di bawah lempeng Eurasia (megathrust), dari mulai Simeuleu sampai Andaman dan membuat air laut surut dan kemudian menghempas ke daratan," katanya.
Sedangkan, kata Subandono, gempa kali ini hanya menyebabkan gerakan mendatar yang menyebabkan getaran dan riak gelombang di lautan. "Kalaupun ada tsunami paling-paling tingginya hanya 10-20 sentimeter atau paling tinggi tak lebih dari semeter," katanya.
Subandono juga mengingatkan pentingnya rencana tata ruang wilayah menjadi dasar dari pembangunan, khususnya di kawasan pontensial bencana gempa dan tsunami, sehingga diharapkan mampu meminimalisasi resiko bencana. "Sayang sekali kalau kita sudah bangun kota dengan sebagus-bagusnya, tapi karena tsunami datang lagi, lalu kota kembali hancur, lalu kita harus membangunnya lagi," katanya.
Ia mencontohkan Jepang yang dilanda gempa 9 SR pada Maret 2011 dan menyebabkan tsunami hingga 10 meter dan menewaskan ribuan korban, namun setahun setelah itu belum ada upaya rekonstruksi. "Pembangunan kembali baru akan dilaksanakan setelah semua rencana sesuai tata ruang berbasis mitigasi bencana sudah matang," jelasnya.
Rencana tata ruang wilayah, ujar Subandono, lebih penting daripada pembangunan tembok laut atau hutan pantai yang kurang efektif dalam meminimalisasi risiko bencana.(Ant/SHA)
0 komentar:
Posting Komentar